My Favorite

  • Cerpen
  • Iseng-iseng
  • Makalah

Rabu, 29 Desember 2010

Badan Layanan Umum

Mar 8, '08 3:38 AM
for everyone

Salah satu bunyi pembukaan Undang-undang Dasar 1945 adalah  “Memajukan kesejahteraan umum dan mencerdaskan kehidupan bangsa”. Jelas bahwa negara mempunyai tanggung jawab untuk mengembangkan pendidikan nasional. Namun ironis jika mencermati nasib pendidikan kita pada saat ini. Ketidakmampuan negara dalam memulihkan keadaan telah berdampak besar terhadap dunia pendidikan. Dengan tingkat inflasi yang besar, sementara subsidi dan kenaikan anggaran pendidikan yang tidak seimbang telah memaksa berbagai institusi pendidikan untuk mencari sumber pendanaan lain yang kreatif. Namun lagi-lagi para pengelola pendidikan tidak ingin berpikir panjang dan membebankan kekurangan dana pendidikan pada dana masyarakat. Salah satu dari dana masyarakat tersebut adalah melalui peserta didik. Hal ini terjadi baik pada pendidikan dasar dan menengah maupun sampai pada pendidikan tinggi. Akibatnya di tengah keterpurukan bangsa, justru banyak generasi penerus bangsa yang harus putus sekolah.
Harapan bahwa pendidikan bisa dinikmati oleh seluruh bangsa kian jauh dari cita-cita. Pendidikan semakin mahal, dimana hanya golongan tertentu saja yang dapat mengenyam pendidikan. Tujuan negara mencerdaskan kehidupan bangsa, seperti diamanatkan dalam Pembukaan UUD 1945, dengan memberikan pengajaran kepada setiap putra-putri bangsa dikhianati dengan mahalnya biaya pendidikan yang diakibatkan oleh ketidakmampuan pemerintah menopang pembiayaan sektor ini. Kewajiban pemenuhan 20% anggaran pendidikan dikaburkan dengan mengangkat isu-isu badan hukum pendidikan dan berbagai bentuk pengelolaan  terhadap institusi pendidikan. 
Ditengah pro kontra pembahasan RUU Badan Hukum Pendidikan yang hingga kini masih menimbulkan kontroversi, pemerintah (Dirjen Dikti) menyarankan kepada PTN yang ingin segera mendapatkan status otonomi dapat segera mengajukan diri menjadi Badan Layanan Umum (BLU). Menurut pemerintah, dengan berubahnya status PTN menjadi BLU maka hal ini dapat dijadikan suatu pijakan atau proses antara, guna menuju tujuan akhir yakni BHP.
Sejatinya, dengan berubahnya status suatu instansi pemerintah menjadi BLU, praktis hanya pola pengelolaan keuangannya saja yang mengalami perubahan. Peraturan Pemerintah no.23 tahun 2005 yang mengatur tentang Pola Pengelolaan Keuangan BLU (PPK-BLU), sebagai satu-satunya payung hukum BLU, menjelaskan bahwa BLU merupakan instansi di lingkungan pemerintah yang dibentuk untuk memberikan pelayanan kepada masyarakat berupa penyediaan barang dan atau jasa yang dijual tanpa mengutamakan mencari keuntungan.  
Pola BLU muncul lebih disebabkan karena adanya pandangan bahwa instansi pemerintah penyedia layanan masyarakat selama ini tidak diberikan keleluasaan dalam melakukan pengelolaan keuangan. Seluruh pendapatan institusi harus disetorkan terlebih dahulu ke kas negara sebagai PNBP (Penerimaan Negara Bukan Pajak), baru kemudian instansi mengajukan rencana anggaran untuk dapat mencairkan dana tersebut. Sehingga banyak potensi pemasukan yang seharusnya dapat langsung digunakan untuk pengelolaan instansi terkait tidak dapat dimaksimalkan.
Secara umum terdapat tiga macam bentuk pengelolaan keuangan instansi pemerintah antara lain dengan pola PNBP sekarang ini, badan layanan umum, dan badan usaha mandiri dengan kekayaan yang dipisahkan. Pembagian ketiga bentuk tersebut didasarkan pada kemandirian pengelolaan keuangan dan kepemilikan aset. Dalam pola pengelolaan BLU instansi tidak lagi perlu menyetorkan pemasukan non-APBN ke kas negara. BLU diberikan keleluasaan untuk dapat langsung menggunakan hasil pemasukan guna pengelolaan instansi.
            Pola pengelolaan keuangan yang sama pun juga terdapat pada badan usaha mandiri, namun yang membedakan dengan BLU adalah aset  instansi berubah kepemilikan yang semula milik negara berubah kepemilikan menjadi milik instansi. Sedangkan pada BLU aset instansi tetap menjadi milik negara. Salah satu hal yang membedakan BLU dengan PT yang berbadan hukum adalah, status kepemilikan atas tanah. Dalam PT-BHMN, status kepemilikan tanah diserahkan kepada PT yang bersangkutan sekaligus juga beban pembayaran pajak atas tanah tersebut. Sedangkan pada BLU, status kepemilikan tanah tetap berada di tangan pemerintah.
            Dalam aturan mengenai BLU, dijelaskan pula mengenai standar layanan yang diberikan bagi masyarakat. Untuk konteks PTN, layanan yang diberikan kepada stakeholders khususnya mahasiswa. Pada pasal 8 PP 23/2005 dijelaskan bahwa setiap BLU harus memiliki standar pelayanan minimum, sehingga segala macam interaksi pelayanan dari PTN kepada mahasiswa ada acuan standar minimumnya. Dengan begitu, ada sebuah acuan yang telah dipahami bersama antara penyedia layanan (PTN) dan mahasiswa, sehingga apabila dikemudian hari terdapat ketidaksesuaian pelayanan maka proses penuntutan/advokasi lebih mudah karena memang sudah ada standarisasinya.
            Terkait dengan biaya pendidikan, di dalam PP 23/2005 dijelaskan mengenai tarif layanan yang menyebutkan BLU dapat memungut biaya dari masyarakat atas layanan yang diberikan. Dalam menentukan besaran tarif tersebut BLU harus mempertimbangkan empat hal,
  1. kontinuitas dan pengembangan layanan
  2. daya beli masyarakat
  3. asas keadilan dan kepatutan
  4. kompetisi yang sehat
Setiap tahunnya usulan tarif layanan ini diajukan oleh BLU kepada Menteri Keuangan, dan selanjutnya hak menetapkan besaran tarif layanan berada pada Menkeu. Tentunya penetapan tarif ini dipertimbangkan terhadap rencana besaran APBN yang akan dialokasikan untuk BLU tersebut. Jadi, apabila dalam pola saat ini penentuan SPP/SPI berada di tangan senat institut / universitas maka ketika bertransformasi menjadi BLU penentuannya dilakukan oleh Menkeu berdasarkan usulan PTN terkait.
            Konsep BLU pada prinsipnya memberikan keleluasaan pada instansi pemerintah penyedia layanan dalam melakukan pengelolaan, khususnya pengelolaan keuangan. Institusi pendidikan pun ketika menjadi BLU dan diberikan keleluasaan, tentunya akan lebih atraktif dalam merealisasikan potensi-potensi pemasukan keuangan. Komersialisasi fasilitas pendidikan menjadi isu penting, karena fasilitas yang dimiliki institusi pendidikan berpotensi menjadi sumber pemasukan, misal ketika disewakan penggunaannya. Selain itu, proses seleksi  masuk peserta didik baru juga berpotensi untuk menjadi salah satu pos pemasukan yang cukup besar. Setiap konsep pendidikan akan sesuai bila telah mempertimbangkan semua aspek yang ada, ini harus bertujuan jelas bahwa pendidikan bukanlah sesuatu yang dikomersialisasikan. Sehingga pendidikan bisa dinikmati oleh semua kalangan masyarakat di Indonesia.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar