My Favorite

  • Cerpen
  • Iseng-iseng
  • Makalah

Minggu, 26 Desember 2010

PERTEMUAN KEMBALI

Kala itu udara sangat panas, suasana di sekolahku sangat riuh karena waktu jam pulang tiba, anak-anak semuanya berhamburan keluar dari kelas mereka masing-masing untuk pulang. Pada hari itu aku sengaja pulang belakangan karena aku masih harus menyalin pelajaran tadi pagi yang belum sempat aku tulis, tetapi disana masih ada beberapa anak masih belum pulang. Entah karena menunggu jemputan atau sekedar ngobrol dengan teman. Setelah selesai menyalin akupun mengemasi buku-buku dan memasukkannya ke dalam tas. Kemudian aku berjalan menuju gerbang sekolah, seperti biasa aku menunggu jemputan abang becakku disana.
Aku berteduh dibawah sebatang pohon didepan sekolahku. Tidak lama aku berdiri disana ada sesuatu yang menarik perhatianku, waktu itu, disana, dijalan raya terdengar bunyi benturan keras, hatiku berkata, mungkin saja tabrakan. Timbul keinginanku untuk mendekati tempat kejadian itu, aku bertanya pada seorang abang becak yang ada di tempat kejadian.
“ada apa bang ?”. tanyaku penuh penasaran
“tabrakan neng,” jawabnya tanpa menoleh kearahku
“siapa bang?”. Aku semakin penasaran
“nggak tahu neng, tapi kalau gak salah lihat dia pakai seragam seperti yang neng pakai.” Jawabnya sambil melihat ke arahku
“oh, ya… makasih ya bang.”
Rasa penasaranku semakin menjadi-jadi, aku ingin tahu siapa korban kecelakaan itu, akupun menerobos kerumunan orang yang juga melihat kejadian itu. Betapa terkejutnya aku setelah melihat siapa si korban.
Anton ……… apa aku nggak salah lihat ? perlukah ku tolong dia ? sanggupkah aku tepiskan perasaanku sama cowok yang telah membuat aku kecewa, membuatku sakit hati, dan membuatku merana. Tapi aku tidak sampai hati membiarkannya tergeletak lemah tak berdaya dan berlumuran darah. Bagaimanapun harus aku akui kalau aku masih mencintainya.
Tanpa piker panjang lagi, aku tolong dia dengan bantuan abang becak. Segera aku bawa dia ke rumah sakit terdekat untuk segara mendapatkan pertolongan. Tak lama kemudian seorang suster keluar dari ruang pemeriksaan dan menghampiriku.
“maaf mbak, anda ditunggu dokter sekarang juga” ucapnya padaku.
“baik sus,” jawabku sambil beranjak dari tempat duduk, lalu aku bergegas menuju keruangan dokter yang menangani Anton.
“selamat siang dok,” ucapku setelah dipersilahkan masuk
“selamat siang, silahkan duduk”
“terima kasih dok.” Ucapku sambil dudul di hadapan dokter.
“apa mbak ini keluarga korban?” Tanya dokter sangat serius
“bukan dok, saya hanya teman satu sekolahnya. Memangnya ada apa dok” Tanyaku peanasaran.
“begini, teman mbak banyak sekali mengeluarkan darah, dan harus dilakukan transfusi darah secepatnya karena kalau tidak  akan fatal akibatnya, sedangkan persediaan darah dari pihak rumah sakit untuk jenis golongan darah korban sedang habis.”
Mendengar kata-kata dokter, tubuhku menjadi lemas, sanggupkah aku menolongnya? Haruskah aku menolong orang yang telah mengecewakan aku, menghancurkan hidupku. Tapi pikiran itu aku singkirkan jauh-jauh, bukankah saat ini dia butuh pertolonganku. “bisakah aku membantunya,” Tanyaku dalam hati.
“dok bisakah saya menyumbangkan darah saya untuk dia” tanyaku penuh pengharapan
“ tentu saja bisa asalkan golongan darah mbak sama dengan golongan darah korban”
“golongan darah saya O dok.”
“kebetulan sekali, kalau begitu transfusinya bisa segera dilakukan, mari ikut saya ke laboratorium untuk mengambil darah anda.”
Lalu aku dan dokter berjalan menuju ke lab. Tak lama kemudian setelah pengambilan darahku selesai aku masih sempat berbincang-bincang dengan dokter. Beliau menanyakan hal yang sangat sensitive bagiku.
“sebelumnya saya minta maaf, kalau boleh tahu mengapa mbak mau menyumbangkan darah mbak sama korban, padahal dia tidak punya hubungan keluarga dengan mbak.” Tanya dokter penuh penasaran
“memang benar saya tidak punya hubungan keluarga dengannya, tapi saya berkewajiban menolongnya. Disamping dia teman saya, saya juga merasa wajib menolongnya atas rasa kemanusiaan.”
“yah …. Mbak memang benar, saya tidak menyangka di jaman seperti sekarang ini masih ada orang menolong tanpa pamrih seperti mbak.”
“biasa saja dok. Baiklah kalau begitu saya pamit pulang dulu.”
“oh … ya … terima kasih atas pertolongannya, semoga mbak mendapatkan pahala yang setimpal.”
“terima kasih atas doanya, besok saya akan dating untuk melihat keadaannya.” Setelah aku berpamitan sama dokter, aku masih menyempatkan dir untuk melihat keadaan anton dikamarnya dan ternyata dia belum sadar, setelah itu akupun langsung pulang kerumah, tapi perasaanku sangat cemas meninggalkan Anton.
Keesokan harinya aku pergi kesekolah seperti biasa, tapi tak satupun materi pelajaran yang nyangkut di otakku, karena pikiranku hanya tertuju pada Anton. Dia yang sekarang lagi terbaring di rumah sakit. Sepulang sekolah aku langsung menuju ke rumah sakit tempat anton dirawat. Dan aku langsung bertemu dengan dokter yang merawatnya.
“selamat siang dok, bagaimana keadaan teman saya, anton?” tanyaku pada dokter.
“alhamdulillah  dia sudah sadar, dia sudah menunggu mbak”
“maksud dokter apa? Apa dokter bilang kalau saya yang membawanya kemari?” tanyakku pada dokter
“saya memang menceritakannya tapi saya sengaja tidak memberitahu nama mbak kepadanya, mari silahkan” dokter mempersilahkan aku masuk
“terima kasih dok” jawabku dengan gugup. Hatiku dag dig dug waktu melangkahkan kaki masuk ke kamar anton.
“mas anton, mbak inilah yang telah menyelamatkan mas kemaren.” Dokter menyamping agar anton bisa melihatku. Kemudian perlahan-lahan anton mengarahkan pandangannya ke arahku.
“TIKA……..” ucapnya dengan kaget.
“benar mas anton, mbak tika inilah yang telah saya ceritakan tadi, dia yang telah menolong mas kemaren.” Kata dokter menjelaskan.
“sebaiknya kalian ngobrol aja dulu, saya akan memeriksa pasien lainnya.” Ucap dokter sambil berpamitan.
“terima kasiih dok” jawabku. Hatiku tak menentu saat ditinggal berduaan saja dengan anton
“duduklah tika.” Anton berkata dengan gugup
“terima kasih” jawabku. Kulihat anton memandangiku dengan sorot matanya yang tajam, aku menjadi kikuk dipandangi seperti itu. Kemudian dia berusaha duduk tapi tak bisa, maka akupun membantunya untuk duduk.
“terima kasih Tika …. Duduklah” pintanya. Kemudian aku duduk disampingnya, entah mengapa perasaanku jadi tak menentu saat itu
“aku ucapkan banyak terima kasih atas pertolonganmu, entah dengan apa aku harus membalasnya, kamu telah menyelamatkan aku dari maut.” Ucapnya sambil tertunduk
“jangan berlebihan, ini sudah menjadi kewajibanku. Aku melakukan ini demi rasa kemanusiaanku, bukankah kita sebagai manusia harus saling tolong-menolong ?”
“tapi aku malu Tika”
“malu ? kenapa harus malu ?”
“aku malu padamu, dan juga pada diriku sendiri. Aku telah menyakitimu, membuatmu susah, aku telah membuatmu kecewa,. Tapi…..” aku memotong kata-katanya sebelum dia melanjutkannya.
“yang lalu biarlah berlalu….aku….” aku belum sempat melanjutkan kata-kataku tappi sudah dipotong sama anton.
“aku mohon dengarkan penjelasanku dulu. Sungguh tika ! semua itu tidak murni keluar dari hatiku. Aku terlalu bodoh dengan percaya akan omongan teman-temanku yang selalu menjelek-jelekkan kamu. Kini aku sadar kamu tidak seperti yang mereka kira. Tika mauka kamu memaafkan aku ?”
“sebelum kamu meminta hal itu, aku sudah memaafkan kamu.”
“terima kasih tika. Ada satu hal lagi yang harus kamu ketahui.” Anton merik nafas dalam-dalam, hal ini membuatku bertanya-tanya.
“kalau boleh jujur, aku masih sangat mencintaimu tika, tapi aku malu untuk mengatakannya padanmu. Aku takut kamu akan menolakku setelah apa yang aku lakukan padamu. Maukah kamu memaafkan aku tika? Dan menerima aku kembali disisimu. Jawablah tika. Apapun jawabanmu aku siap menerimanya.”
“sudahlah anton, jangan kamu pikirkan hal itu. Sekarang yang penting adalah kesehatanmu. Kamu harus cepat sembuh agar kamu bisa masuk sekolah lagi. Bukankah sebentar lagi ujian?”
“tapi kamu belum jawab pertanyaanku tika”
“apa aku harus menjawabnya sekarang?”
“ya… kamu harus menjawabnya sekarang.”
“aku …. Aku memaafkanmu.”
“lalu bagaimana dengan hubungan kita selanjutnya?” tanyanya  penuh harap
“meskipun kamu tidak memintanya aku telah memaafkannya, karena aku juga msih mencintaimu”
“terima kasih tika, kamu memang baik”
Oh tuhan terima kasih karena telah mempertemukan kami kembali meskipun dengan jalan seperti ini. Kamipun terdiam sesaat, hanya pandangan mata kami yang mengisyaratkan semuanya. Kami bersatu dalam cinta kasih sayang yang abadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar