My Favorite

  • Cerpen
  • Iseng-iseng
  • Makalah

Minggu, 26 Desember 2010

SENANDUNG DARI PANTAI LOMBANG

Debur ombak, desir angin dan lambaian pohon cemara akrab menyapa dan menyambutku minggu pagi itu. Lentik jerami pohon cemara gemulai melepas sepoi angin menghantar perahu nelayan menjaring ikan. Anak kecil bertelanjang dada, berkejaran dengan ombak sesekali tertawa berebut kerang yang tersembul dari tumbuhan pasir yang tergerus ombak. Adalah warna hidup yang kutemui di batas kesadaran perjalananku.
Akulah ombak gumuruh laksana gendering masa remajaku dan SMA-ku yang selalu riuh keinginan dan kemauanku. Namun aku tak menyadari keterbatasan mampuku, ketakberadaanku yang hanya melayarkan angan-angan dan kesombongan belaka
 “mana ketegaranku ?!”, tiba-tiba hati kecilku menertawakan diriku sendiri. Ya ….. akulah orang yang terlalu banyak menuntut pada guru, pada sekolahku. Lucunya aku sendiri termasuk salah seorang siswa yang paling jarang memenuhi kewajiban tugasku. Kerennya sih, pelajar SMANSA …. Sukanya mejeng, bikin pesta, hura-hura, itu ….. tu kayak si Lupus di Jakarta. Suka ngakali guru tapi bodoh-ku tak ketulungan. Namun kadang aku tertawa sendiri mengingat sekolahku di daerah terpencil.
Sebenarnya aku menyadari semua kekuranganky dan segala apa yang kulakukan tak lain hanyalah untuk membela diri dan menghilangkan jejak ketololanku. Mungkin akulah siswa paling pengecut di sekolah ini, tapi aku sendiri tak menginginkan menjadi seorang pengecut. Aku hanya ingin diperhatikan karena perhatianku telah hilang, dan tak semua mengerti keinginanku.
“Virda, aku ingin terkenal seperti BJ. Habibie !”, sapaku pada Virda yang lagi sibuk mengukir rumus fisika.
“Ah, keinginan melulu, belajarnya kapan ?, tiap malem keluyuran, nonton SCTV, belum lagi sibuk wakuncarnya”. Berondong Virda dengan sinis.
Memang aku sadari, aku telah kalah dalam kemenangan dan selalu salah dalam kebenaran menurutku. Tapi aku masih punya nyali seperti mereka, belajar keras, mengerjakan tugas dengan baik dan rajin masuk sekolah. Tetapi kenapa segala kejelekan telah menjadi cap yang tak bisa kuhapus dengan segala usahaku untuk memperbaiki diri. Prestasiku nomor buntut semakin menebalkan dugaan kenakalanku. Dan aku lebih dikenal sebagai anak paling badung dan paling terlamabt membayar uang SPP dan iuran BP-3. Tak aneh kalau ada petugas SPP menagih kedalam kelas akulah siswa yang paling awal dikeluarkan untuk segera melunasinya, saking seringnya terlambat. Pada hal kalau urusan nonton akulah orang pertama yang antri tiket.
Ada yang tak mereka mengerti tentang dukaku yang kusimpan dalam-dalam, dadaku porak-poranda bagaikan pecahan ombak di karang itu. Aku telah kehilangan kasih sayang orangtuaku yang lebih sibuk dengan surat perjanjian kontrak kerja, hingga lupa pulang untuk sekedar memberikan belaian lembut tangannya. Ketersembunyian ini, hanyalah karena kepintaranku bermain sandiwara di depan gurur BP yang menelusuri kenakalanku. Setiap dipanggil aku berlagak manut, patuh dengan menganggukkan kepala, tapi di belakang kembali lagi pada belangnya.
* * * * *

Gemuruh ombak laut utara tak ubahnya keinginanku untuk memperbaiki diri, namun aku kesal dengan lingkungan yang telah ikut mewarnai potretku dengan garis hitam didadaku. Garis hitam ini telah terbawa pula dalam tas sekolahku.
Sehari sebelumnya aku dimarahi guru Biologi karena tak mengerjakkan tugas Ko-Kurikuler. Aku memang salah tapi aku kesal kalau hanya hanya aku yang disalahkan. Pak guru sendiri hanya menjejaliku dengan teori dan rumus tapi tak pernah mengajakku bertukar pikiran. Otakku telah gemuk dengan berbagai rumus, tapi hatiku tandus kasih sayang. Laksana bukit kapur yang ditumbuhi pohon siwalan, tapi lain tumbuhan tak bisa tumbuh. Kekesalanku di rumah telah terbawa pada sekolahku, membawa sakit dan sakit. Kenapa semua tak mengerti pada keadaanku ? mereka bisanya marah, memberi sanksi tapi tak pernah memberiku kesejukan embun.
Tanpa kusadari gelagatku selama ini diperhatikan salah seorang guru, yang sesekali memanggilku dan tak henti-henti membimbingku, terkadang aku ditamparnya, namun terasa lembut diterimaku.
* * * * *

Segala malam telah kukenal, segala pasar telah kujajal, segala jalan telah aku langkahi, segala hitam telah aku tinggalkan.
“Aku sekolah untuk apa ?”, ijazah yang selama ini dinantikan tak menjamin masa depan !”.
“Tolol …. sekolah bukan untuk mendapatkan ijazah, tetapi menuntut ilmu untuk masa depan kelak !”, hati kecilku berontak dan mengejutkan jantungku. Aku menyadari kesalahan jalan pikiranku selama ini dan aku temukan buntunya, seperti batas laut Lombang dengan langit tak terbatas yang sebenarnya berbatas. Aku telah menemukan rindu !
* * * * *

Kepolosan nelayan, ketabahan pencari nener, dan keceriaan anak nelayan yang berkejaran dengan ombak di sepanjang pantai potret rindukku dalam tiapdetak jantungku.
Dari sela gubuk di bawah pohon cemara, kulihat seorang nelayan menggelar tikar dan mengangkat takbir. Waktu telah memberhentikan pekerjaannya untuk menyusun laporan rutin keseharian pada sang Khaliq.
Ada yang telah kutinggalkan selama ini, yang membuatku lupa pada tanggung jawabku. Ah ….. ada yang terlepas dari jiwaku ! teori itu telah lama kusimpan dalam otak, dalam hatiku namun belum kujalani yang sebenarnya.
Aku tersadar dari keliaran Camar terbang yang hinggap pula di atas karang dan pasir pantai. Aku hanya melangkah pada kesia-siaan tanpa usaha yang gigih. Kusadari anganku takkan jadi kenyataan tanpa usahaku untuk mengubahnya. Pada puncak karang, gelombang pecah bersama pecahan kesadaranku, berbulir mutiara di Lombang yang sudah siang.
Tuhan, ampunkan kesalahanku dan akan kesusun sebuah perahu kegagalanku untuk biduk berlayarku kepantai masa depan, menempuh jalan lurus-Mu. Di Lombang ini aku bakar kesalahan langkahku yang hitam buat orangtuaku, guruku dan kekasihku. Ku susun sujud setiap langkah seperti lentik ranting cemara melepas arah angin, memulangkan sampan ke pantai.
Ada yang terlepas buat guruku
Bapak, berilah aku kain
Untuk kupotong jadi layar bidukku
Ibu, berilah aku tali
Kurajut jaring-jaring menagkap ikanmu
Di lembah sekolahku
 Biarlah aku laut
Dengan ombaknya menuju pantai
 Engkaulah angin petunjuk jalan
Biarlah aku laut
 Dengan karang tegarnya
Engkaulah penyusunnya
Biarlah aku laut
 Dengan pantainya, kau menikmati
Betapa indahnya

Edisi, Agustus

Tidak ada komentar:

Posting Komentar