My Favorite

  • Cerpen
  • Iseng-iseng
  • Makalah

Jumat, 20 Mei 2011

ANALISIS TRIPLE HELIX DALAM MEMBANGUN SISTEM PERS

A.    Academicy adalah tenaga professional yang membentuk system pers.
Mengenai sedikit sejarah munculnya wartawan sebagai munculnya, Denis McQuail menuliskan dalam bukunya yang bertajuk “Teori Komunikasi Massa: Suatu Pengantar” Edisi Kedua. Dalam buku yang sudah dialihbahasakan dari karya aslinya dalam Bahasa Inggris pada 1987 ini, McQuail membahas sedikit mengenai kemenangan liberalisme dan akhir sensor langsung atau beban fiskal, lahirnya kelas sosial kapitalis yang secara relatif bersikap progresif dan beberapa profesi lainnya, sehingga mendorong lahirnya badan usaha profesional, banyak perubahan sosial dan teknologi yang menghendaki adanya sistem kerja pers regional dan nasional yang menyuguhkan informasi berkualitas tinggi. Hal-hal tersebut menyebabkan dimulainya fase surat kabar “borjuis”, yang bermula dari 1850 hingga akhir abad 19.
Ciri-ciri utama “elit” pers baru yang berperan dalam kurun waktu tersebut adalah ketidaktergantungan formal terhadap pihak pemerintah dan kelompok yang mementingkan diri (vested interest), penerimaan ke dalam struktur masyarakat sebagai institusi utama dalam kehidupan sosial dan politik, munculnya profesi kewartawanan yang menerapkan pelaporan peristiwa secara objektif, tanggung jawab sosial dan etis yang tinggi, penerapan peran pemberi pendapat dan pembentuk pendapat secara bersamaan, kecenderungan mengaitkan diri dengan “kepentingan nasional” secara berulang kali.[1]
Dilihat dari sejarahnya, profesionalisme lahir dari rahim era industri, industri pers modern. Profesionalisme lahir untuk memenuhi kebutuhan kaum pemilik modal untuk menghasilkan produk kualitas tinggi yang dapat diserap oleh pasar, alih-alih melayani kebutuhan masyarakat.
WARTAWAN adalah sebuah profesi. Dengan kata lain, wartawan adalah seorang profesional, seperti halnya dokter, bidan, guru, atau pengacara. Sebuah pekerjaan bisa disebut sebagai profesi jika memiliki empat hal berikut, sebagaimana dikemukakan seorang sarjana India, Dr. Lakshamana Rao:
1.      Harus terdapat kebebasan dalam pekerjaan tadi.
2.      Harus ada panggilan dan keterikatan dengan pekerjaan itu.
3.      Harus ada keahlian (expertise).
4.      Harus ada tanggung jawab yang terikat pada kode etik pekerjaan. (Assegaf, 1987)
Wartawan dikatakan profesional karena pekerjaannya sudah diatur dalam Kode Etik Wartawan Indonesia (KEWI) yang dilandasi oleh Undang-Undang Pers no. 40 tahun 1999. Jika tetap memaksakan menanyakan mengenai definisi wartawan profesional, maka jawabannya adalah wartawan yang mengerjakan pekerjaannya sesuai dengan ketentuan aturan yang berlaku baik Undang-Undang Pers maupun kode etik yang dikeluarkan oleh asosiasi wartawan atau kesepakatan berbagai asosiasi wartawan. Untuk melaksanakan pekerjaan atau tugas jurnalistik maka diperlukan keahlian jurnalistik yang didapatkan dari pendidikan khusus.
Mengenai definisi maupun syarat wartawan profesional tidak dituliskan secara eksplisit dalam UU Pers maupun KEWI. Pada Bab 3 pada UU Pers yang meliputi 2 pasal (pasal 7 dan tentang wartawan, tidak dituliskan mengenai wartawan profesional. Pada bab itu hanya dituliskan mengenai wartawan yang bebas memilih organisasi wartawan, menaati kode etik jurnalistik (pasal 7), dan wartawan mendapat perlindungan hukum dalam melaksanakan profesinya. Namun adanya KEWI sudah menunjukkan profesionalitas wartawan. Pada KEWI pasal 2 (Wartawan Indonesia menempuh cara-cara yang profesional dalam melaksanakan tugas jurnalistik) terdapat penafsiran mengenai cara-cara yang profesional itu, yaitu:


Penafsiran
a.       Menunjukkan identitas diri kepada narasumber
b.      Menghormati Hak Privasi
c.       Tidak menyuap
d.      Menghasilkan berita yang faktual dan jelas sumbernya; rekayasa pengambilan dan pemuatan atau penyiaran gambar, foto, suara dilengkapi dengan keterangan tentang sumber dan ditampilkan secara berimbang
e.       Menghormati pengalaman traumatik narasumber dalam penyajian gambar, foto, suara
f.       Tidak melakukan plagiat, termasuk menyatakan hasil liputan wartawan lain sebagai karya sendiri
g.      Penggunaan cara-cara tertentu dapat dipertimbangkan untuk peliputan berita investigasi bagi kepentingan publik.
Untuk menjamin kemerdekaan pers dan memenuhi hak publik untuk memperoleh informasi yang benar, wartawan Indonesia memerlukan landasan moral dan etika profesi sebagai pedoman operasional dalam menjaga kepercayaan publik dan menegakkan integritas serta profesionalisme. Atas dasar itu, wartawan Indonesia menetapkan dan menaati Kode Etik.
Jadi, mengenai syarat wartawan profesional ialah ketika wartawan tergabung dalam organisasi pers (organisasi wartawan dan organisasi perusahaan pers) yang diakui Dewan Pers dan menaati peraturan tentang profesi kewartawanan (KEWI).

B.     Bureaucracy
Di tahun 2008, dunia jurnalistik Indonesia dipenuhi oleh kehadiran 1.008 perusahaan media cetak, 150 perusahaan media televisi, dan 2.000 perusahaan radio. Data tersebut disampaikan oleh Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara, dalam diskusi memperingati 10 Tahun Kebebasan Pers, Selasa (5/5).
Pertumbuhan perusahaan-perusahaan media ini seharusnya bisa menjadi pembuktian dari pengaplikasian UU Pokok Pers Nomor 40 Tahun 1999, dimana kebebasan pers menjadi sesuatu yang bisa diwujudkan di Indonesia. Sayangnya, pertumbuhan tersebut tidak dibarengi dengan persiapan yang matang. Kehadiran pemain-pemain baru dalam dunia jurnalistik kita agaknya tidak diperkuat dengan kemampuan untuk mempertahankan diri dalam kompetisi bisnis yang semakin ketat. Belum lagi jika ditinjau dari angka perolehan iklan yang signifikan, dimana kebanyakan media-media ini tidak memenuhi syarat.
Dewan Pers pun akhirnya mengklaim bahwa hanya sekitar 30 persen dari jumlah perusahaan media tersebut yang berada dalam kondisi ’sehat bisnis’. Seiring dengan angka pertumbuhan perusahaan penerbitan pers yang melaju tinggi, semakin banyak pula kasus pengaduan yang diterima Dewan Pers. Kita sering mendengar kasus wartawan gadungan yang meresahkan masyarakat.
Di satu sisi, tumbuhnya begitu banyak perusahaan penerbitan pers dipandang sebagai hasil reformasi dan pelaksanaan keterbukaan informasi yang seluas-luasnya. Akan tetapi di sisi lain, tanpa dukungan sumber daya yang memadai, hasilnya adalah sebuah ‘wadah’ yang bisa jadi tidak sejalan dengan kode-kode etik jurnalistik yang berlaku di Indonesia dan menghasilkan sebaran informasi yang merugikan publik.
Hal ini tentu saja bertentangan dengan apa yang tertera dalam Undang-undang No. 40 tersebut, dimana media pemberitaan pers seharusnya berfungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan dan kontrol sosial serta lembaga ekonomi.

C.    Corporate adalah sejauh mana kebijakan pemerintah berpengaruh dalam pembentukan system pers.
Apakah yang paling dominan memengaruhi sistem pers? Banyak yang berpendapat bahwa kehidupan pers dalam suatu negara bergantung pada sistem politik atau ideologi yang dianut oleh negara tersebut karena sistem pers merupakan bagian dari sistem negara. Memang jika kita melihat kembali lembaran-lembaran sejarah pers, peristiwa yang dialami dan menimpa kehidupan pers (khususnya pers dalam negeri) selalu berkaitan dan bergantung pada pengawasan pemerintah yang berkuasa pada saat itu. Pada orde baru dengan Soeharto sebagai pemimpinnya, kehidupan pers dibatasi secara ketat, bahkan cenderung dikekang. Hal itu dapat dilihat dari pembredelan beberapa surat kabar pada 1974 setelah peristiwa Malapetaka Lima Belas Januari (Malari).
Contoh yang terkenal ialah Harian Indonesia Raya dengan Mochtar Lubis sebagai punggawanya. Hal itu dilakukan untuk menjaga pers yang pada saat itu sangat berpengaruh terhadap pembentukan opini publik dan mencegah terjadinya ketidakstabilan politik akibat pemberitaan agar pembangunan, yang sedang gencar-gencarnya dilakukan pada saat itu melalui Pembangungan Jangka Panjang (PJP) dan Pembangunan Lima Tahun (Pelita) yang terkenal dengan ideologi developmentalisme-nya, dapat berjalan lancar.[2]
Pers yang berada di bawah sistem negara sangat bergantung pada sistem yang ditentukan oleh negara, yakni sistem politik. Sistem politik, yang tergolong dalam suprastruktur, merupakan cerminan dari kehidupan pada infrastruktur atau basis, yaitu kehidupan ekonomi. Jika dilihat dari faktor utama yang memiliki pengaruh kuat terhadap faktor lainnya seperti yang telah digambarkan sebelumnya maka faktor ekonomilah yang paling berpengaruh terhadap segala sendi kehidupan manusia, termasuk kehidupan bernegara (sejak berdirinya negara modern) dan kehidupan pers di dalam suatu negara.



[1]. Denis McQuail. 1987. Teori Komunikasi Massa: Sebuah Pengantar. Erlangga: Jakarta. Hal: 12.
[2]. Ignatius Haryanto. 2006. “Indonesia Raya Dibredel”. Yogyakarta: LkiS. Hal: 233

Tidak ada komentar:

Posting Komentar