My Favorite

  • Cerpen
  • Iseng-iseng
  • Makalah

Jumat, 20 Mei 2011

Tuhan Akulah Hamba-Mu

Waktu itu umurku 20 tahun, sarjana muda sastra Indonesia. Sastra menjadi andalanku untuk hidup tanpa membebani ibu yang berstatus janda. Ayah yang satu-satunya muslim dalam keluarga sudah lama berpulang. Perkawinan beda agama membuatku mengenal perbedaan keduanya, Islam dari ayah dan Protestan dari ibu.
            Lebaran dengan pakaian serba putih yang menandakan kesucian lahir kembali dalam fitrah setelah sebulan penuh puasa, menyatukan ayah dengan kami dalam perayaan. Sedangkan natal dengan kelap kelip lampu diatas pohon cemara, tak pernah ayah hadir. Meskipun begitu ibu tak pernah mempermasalahkannya. Hingga suatu malam dalam shalatnya kudengar ayah berdo’a meminta hidayah buat kami. Hingga di ujung do’anya hanya sang Alif.
            Tekadku sudah bulat untuk tidak pulang sebelum membawa sekeranjang kesuksesan buat ibu, menahan rindu yang semakin menyayat. Aku tidak butuh selimut jika pelukan ibu sudah kudapatkan hanya setumpuk kertas dan pena yang kubawa, menilai scenario Tuhan yang sedang kumainkan namun juga kusaksikan.
            Mungkin memang benar kalau aku tak punya agama. Aku memegang dua agama dari kedua orangtuaku, tapi sepenuhnya aku telah menjalankan ajaran agama ayah, aku sering shalat jum’at menemani ayah. Bahkan akupun telah disunat. Karena itu, kuputuskan untuk mengenal Islam, mencoba mengerti makna sang Alif yang almarhum minta. Tapi bagaimana aku belajar?
            Sisa uang dua ribu rupiah, hanya cukup untuk sebungkus nasi tanpa lauk malam ini. Kulahap suap demi suap nasi, kuingat ayah, puasa senin-kamis tak pernah putus, kecuali ia sakit. Sedangkan aku…??? Bukankah aku jarang makan? Akhirnya kumanfaatkan situasi ini untuk puasa.
            Suatu hari, aku ingin sholat layaknya ayah. Subuh itu aku berhenti di masjid Jami’ Surabaya. Kuambil air wudlu’ dengan mencontek gerakan lelaki di depan kran. Kuikuti gerak yang sama, dari awal hingga akhir. Sekilas lelaki itu berdoa, tapi aku tidak bisa menirunya karena aku tak mendengarnya. “Allah itu maha mendengar, pengasih dan penyayang, dengan niat tulus kita saja, Dia sudah tau”. ku ingat pesan ayah saat mengenalkanku pada Tuhannya yang sekarang juga menjadi Tuhanku. Milikku. Tingkahku mengusik kekhusyukan laki-laki itu, dia merasa terganggu dengan pandanganku yang serba ingin tahu, diapun pergi, padahal masih banyak yang ingin kutahu tentang Islam.
            Tiga hari sudah, tak sebutirpun nasi atau air yang masuk kerongkongan, kepalaku berputar, pandanganku berkunang-kunang, dan seketika lampu Ilahi padam, kurasakan bumi Tuhan gelap. Entah sudah berapa lama aku berada di ruangan ini, lafadz Allah dan Muhammad terpampang jelas dari atas kasur yang aku tempati.
            “Kamu di rumah Allah” ujar lelaki tua yang lebih mirip bapak ustadz. Kemudian dia pergi meninggalkanku. Rumah Allah itu ternyata masjid, aku berada disalah satu ruang istirahat penjaga masjid selama berhari-hari untuk memulihkan keadaanku. Disaat aku sendiri dalam kesunyian, aku mulai berfikir tentang sang Alif Tuhanku yang ayah ceritakan, dimana Dia? Dimana saat aku membutuhkan-Nya? Dimana ummat-Nya saat aku ingin belajar tentang-Nya? Tidakkah Dia ingin mengunjungiku?.
            Aku membaca Sebuah buku yang tergeletak begitu saja disampingku. Buku itu hanya memberitahuku Islam. Tapi pertanyaan tentang dimana sang Alif yang selama ini aku cari, disetiap emperan jalan yang aku lewati, Belum juga terjawab. Disebuah halaman, tertulis sahabat nabi berkata. “wahai Nabi, dimanakah gerangan Allah itu?” Nabi menjawab, “Allah ada disetiap anak yatim”, “lalu dimana lagi?”, “disetiap musafir”, “lalu dimana lagi?”, “disetiap janda renta yang tak punya pelindung”. Akupun mulai berfikir, bukankah aku anak yatim?, bukankah aku musafir?, tapi aku memang bukan janda atau duda yang renta, tapi dimana sang Alif? Kenapa tak kurasakan keberadaannya?.
            Kesehatanku telah pulih, dan kuputuskan untuk melanjutkan perjalanan, mencari kesuksesan lewat karya, dan mencari sang Alif. Sebuah cerpen, novel, dan beberapa puisi telah kuuntai lewat ilustrasi perjalanan sebelum aku jatuh sakit. Aku putuskan untuk Menghadap ke direktur majalah “time” untuk memdemokan karyaku, tapi aku tak bisa menemuinya. Berkali-kali kutemui dikantornya, tapi selalu ada rapat. Kuputuskan untuk langsung kerumahnya. Sebuah rumah yang ditutupi pagar tinggi dengan tembok kokoh mengelilingi sekitarnya. Dan tepat ditengah gerbang dua penjaga dengan wajah sangar. Pasti sang direktur tak jauh beda dengan penjaga itu, batinku getir.
            “Sudah buat janji?” tanyanya setelah kujelaskan maksud kedatanganku, aku hanya menggeleng dan dengan wajah sinis sang penjaga berkata.
            “Pasti sulit kalau anda mau masuk, tapi kalau anda juga keras kepala silahkan saja,” tantangnya setelah kupaksa agar membuka pintu kokoh itu.
            Seorang resepsionis masuk melihat daftar janji direktur di papan, sementara aku membolak balik kertas yang kubawa, seorang nenek renta dengan baju penuh tempelan, kaki tanpa alas, dan uban yang sudah memenuhi kepala manatapku dari jauh. Kulihat diriku, mungkin ada yang salah, nenek itu mulai melangkah pelan mendekatiku dengan pandangan datar.
            “Amit nak” pintanya seraya menyodorkan sebuah baskom kecil dengan suara yang gemetar. Sekilas kuingat buku yang kubaca ketika aku terbaring sakit. Benarkah sang Alif berada di dirimu bersama baskom kecil itu, wahai janda tua?, tanyaku dalam hati. Aku ingin tahu dan ingin bukti, benarkah sang Alif berada di tiga orang yang disebut Nabi itu? Kuambil uang Rp.75.000 yang kudapat dari pak ustadz yang menyelamatkanku tempo hari. Aku lelah dengan semua ini Tuhan, takdir dan pencarian tentang diri-Mu, sang Alif yang selalu ayah agung-agungkan. Tanpa berpikir dua kali, kuberikan semua uangku. resepsionis itu tampak terkejut dengan apa yang kulakukan. Mulutnya masih terbuka lebar, sedang nenek itu pergi tanpa mengucapkan apa-apa.
            “Direktur bersedia menemui anda” ucapnya setelah sekian lama. Kuikuti petunjuknya memasuki bagian dalam rumah itu. Kutolehkan kepala, dan nenek itu sudah tidak ada lagi, segitu girangkah sang nenek menerima uangku?.
            Setelah kusodorkan karyaku, sekilas seorang lelaki berwajah simpatik duduk didepanku, wajahnya tiada henti menyunggingkan senyum.
            “Novelmu bagus, puisimu juga bagus, 3 juta sebagai uang muka dan Jika tidak keberatan, minggu depan kita tandatangani kontrak.” Ujarnya tanpa basa basi, aku terlonjak mendengarnya, apakah aku bermimpi? Tidak ini nyata. Saat itu juga aku langsung sujud syukur, aku tak tahu apa maknanya, tapi ayah selalu melakukannya setiap mendapatkan kebahagiaan. Dalam sujud itu aku menangis, benarkah sang Alif berada di dalam nenek tua tadi? Benarkah sang Alif selalu menyertaiku, ketika aku berada jauh bermil-mil di emperan toko?
            Wahai Dzat yang tiada duanya, ampuni dosa hamba, maafkan hambamu yang na’if ini, sungguh bodoh aku yang telah meragukan keadilan-Mu, maafkan aku Tuhan. Semoga hamba termasuk dari tiga orang yang disebutkan Nabi, karena sang Alif telah kutemukan di emperan jalan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar